Oleh: Prof.DR. Paisal Halim.M.Hum
SEJARAH mencatat bahwa pada tahun 1981 Kabupaten Luwu pernah melaksanakan MTQ tingkat propinsi Sulawesi Selatan. Pelaksanaan MTQ tersebut merupakan sejarah baru bagi Kabupaten Luwu karena pada masa itu kabupaten ini telah mengubah opini publik bahwa hanya ibukota propinsi sajalah yang mampu melaksanakan MTQ tingkat propinsi. Opini publik ini gugur dengan sendirinya tatkala Menteri Agama bersama rombongan mengacungkan jempol kepada pemerintah dan masyarakat Kabupaten Luwu pada saat itu. Acungan jempol ini diberikan oleh Menteri Agama atas prestasi gemilang yang ditunjukkan pada pembukaan MTQ tingkat propinsi tersebut.
Perlu diketahui bahwa pada awalnya, sejumlah pengamat di luar daerah banyak yang meragukan kemampuan daerah ini untuk melaksanakan event sekelas tingkat provinsi. Betapa tidak, dari segi geografis, letak Kabupaten Luwu sangat jauh dari Ibukota propinsi; perumahan dan listrik kala itu tidak seindah sekarang; kesiapan sarana dan prasarana belum memadai bahkan sertifikasi menangani kegiatan besar semisal kegiatan tingkat propinsi belum dimiliki oleh Kabupaten Luwu kala itu. Apatab lagi kegiatan MTQ tingkat propinsi baru pertama kali akan dilakukan di luar wilayah ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Namun berkat keuletan dan kegigihan Bapak Bupati Luwu dalam memberikan keyakinan kepada semua pihak akhirnya permohonan menjadi tuan rumah dapat diterima. Bupati Luwu pada saat itu adalah bapak Drs.B. Abdullah Suara. Dengan diterimanya permohonan menjadi tuan rumah maka seluruh komentar yang diragukan oleh para pengamat dari luar ditindaklanjuti dengan membangun segala sarana dan prasarana yang diperlukan demi suksesnya MTQ tersebut. Puncak pembangunan mercusuar yang dibangun pada tahun 1981 adalah stadion Lagaligo dalam kurun waktu yang relatif singkat:
Di stadion itulah Bapak Menteri Agama bersama rombongan dan para khalifah dari berbagai kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan terpesona dan terkagum-kagum menyaksikan pelaksanaan pembukaan MTQ tingkat propinsi. Meskipun pembukaan kala itu diguyur dengan hujan lebat namun tidak mengurangi sedikitpun semangat panitia pelaksana bersama masyarakat menyuguhkan tarian konfigurasi yang cantik dari putra-putri Luwu pada saat itu. Semua orang yang hadir pada malam tersebut terkagum-kagum melihat indahnya kemasan panggung kehormatan dan panggung tilawah serta panggung kafilah yang tertata manis dan rapih. Tautan warna dekorasi yang anggun; cara menyapa yang santun dari, panitia; sorotan lampu yang gemerlap dan senyum ramah dari masyarakat di daerah ini.
Demikian suksesnya acara ini sehingga hanya satu kalimat ‘ yang keluar di bibir kafilah pada saat itu yakni “Luwu pantas jadi tuan rumah karena sejak dahulu Tana Luwu ini terkenal dengan julukan Wanua Mappatuo Naewai Alena . Mulai saat itulah (tahun 1981) model dan gaya pelaksanaan MTQ tingkat kabupaten mirip dengan model MTQ tingkat propinsi. Baik dari segi penataan panggung kehormatan, panggung tilawab dan sebagainya. Bahkan pemerintah bersama masyarakat di sebuah kecamatan yang menjadi tuan pelaksanaan MTQ tingkat Kabupaten merasa tidak puas apabila tidak mirip dengan pelaksanaan tingkat propinsi meskipun harus ditebus dengan dana yang mahal.
Yang lebih menarik lagi adalah meskipun disadari bahwa menjadi tuan rumah dalam pelaksanaan MTQ tingkat Kabupaten menelan biaya yang mahal namun setiap tahun lamaran dari berbagai kecamatan untuk menjadi tuan rumah pelaksanaan MTQ selalu saja antri bermohon pada LPTQ Kabupaten. Bagi LPTQ Kabupaten, lamaran tersebut tidak serta merta diterima begitu saja. Setiap lamaran yang masuk selalu dirapatkan dalam rapat pleno lengkap dengan mempertimbangkan kondisi dan potensi wilayah. Hal ini dilakukan karena menyadari bahwa event MTQ TK. Kabupaten merupakan syiar Islam sekaligus menjadi harga diri dan prestise bagi seluruh umat Islam. Hanya saja sangat disayangkan karena kita banyak tergiring pada keberanian meletakkan anggaran MTQ untuk keperluan penataan fisik semata. Sementara anggaran pembinaan sumber daya manusia seperti qari’ dan qariah sangat minim.
Tampaknya kita lebih berbangga dengan kesuksesan menampilkan dekorasi yang indah sementara kita menafikkan pembinaan SEW di daerah ini. Akibatnya kita lebih memilih jalan pintas yakni menyewa delegasi dari berbagai Kabupaten hanya untuk sebuah prestasi dan prestise. Padahal pilihan tersebut sungguh memalukan dan memilukan bagi daerah seperti Kabupaten Luwu yang mayoritas beragama Islam.
Patut dikemukakan bahwa selama MTQ berlangsung di Kabupaten Luwu dari tahun ketahun selalu berlangsung dengan sangat menakjubkan. Menakjubkan baik di lihat dari segi penataan lokasi kafilah, penataan panggung penataan tilawah dan panggung kehormatan, konfigurasi, tarian massal pada saat pembukaan, pelican warna lampu, partisipasi masyarakat dalam bat penyiapan akomodasi dan konsumsi, kepiawaian panitia menyambut dan menerima tamu, kesiapan barisan pengamanan mengamankan MTQ, bahkan sampai pada pilihan menyiapkan piala dan bonus bagi pemenang lomba dalam MTQ.
Itu sebabnya setiap orang yang menyaksikan pelaksanaan MTQ mulai dari pembukaan sampai penutupan selalu terperanjat akibat kesempurnaan pelaksanaannya. Hal ini dikemukakan oleh beberapa undangan baik tamu dan berbagai kabupaten, tamu dari provinsi atau masyarakat kabupaten Luwu yang berada di rantauan orang selalu memberikan jempol kepada panitia pelaksana. Acungan jempol ini di berikan karena sangat puas dan bangga melihat cara kerja panitia, pemerintah dan masyarakat kabupaten Luwu dalam menyukseskan MTQ sebagai salah satu media syiar Islam.
Dikatakan sebagai salah satu media syiar Islam karena pada event MTQ kita dapat menggiring generasi muda Islam mulai dari tingkat anak-anak, remaja dan dewasa dididik untuk mampu membaca Alquran dengan suara yang merdu, meresapi maknanya lewat syar’il Alquran, menghapal qur’an mulai dari 1 juz sampai 30 juz bahkan sampai pada kaligafi. Dengan kegiatan seperti int, secara konseptual dan faktual kita telah membina generasi muda Islam sebagai generasi qur’ani. Bukan itu saja bahkan kita telah melaksanakan syiar Islam secara terbuka kepada seluruh lapisan masyarakat banyak di wilayah tersebut.
MTQ telah berlalu, MTQ tetap di tutup. Pula seluruh kafilah dari berbagai kecamatan telah kembali ke rumah masing-masing dengan membawa sejuta kesan tersendiri. Ada yang puas dan ada yang kecewa. Puas karena telah merebut piala beserta bonusnya. Kecewa karena cita-cita untuk meraih juara masih tertunda. Sorak sorai penonton terus bergemuruh, tepuk tangan, dan jabat tangan terus berlangsung. Baik kepada para pemenang maupun kepada dewan yuri. Pemberian ucapan selamat dan terima kasih terus berdatangan baik dari Bupati, Muspida. dan panitia kepada tuan rumah (Camat dan Masyarakatnya) bat itu diberikan karena benar-benar telah mempersembahkan yang terbaik atas berlangsungnya MTQ.
Namun demikian beberapa bal yang perlu direnungi bersama yang berkaitan dengan pelaksanaan MTQ ini yakni: merebut piala dalam MTQ merupakan suatu prestasi, kebanggaan dan kehormatan dari semua delegasi. Tetapi perlu diingat bahwa piala tersebut bukanlah tujuan utama melainkan tujuan antara semata. Menghadirkan piala sebanyak-banyaknya dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Namun sekali lagi, piala bukanlah tujuan utama. MTQ dilakukan semata – mata untuk menggerakkan semua lapisan bawah agar masyarakat dan pemerintah dapat membina generasi muda Islam sebagai generasi Qur’ ani di daerahnya. Dengan asumsi pikiran bahwa bila bat ini terwujud maka akan terbangun generasi qurani di suatu wilayah yang pada akhirnya akan terbangun masyarakat madani di wilayah tersebut.
Bila bat ini di sadari oleh semua pihak (pemerintah dan masyarakat) maka gaya menyewa peserta , gaya membayar mahal; gaya “mengimpor”. Qori dan Qoriab dari berbagai kabupaten untuk meraih sebuah prestasi dan prestise sepatutnya tidak layak untuk dilakukan. Karena gaya tersebut sungguh tidak mendidik dan bahkan akan mematikan pembinaan generasi qur’ani di daerah tersebut. Patut diakui bahwa potret menyewa delegasi di setiap event MTQ selalu saja ada. Baik event MTQ tingkat Kabupaten, Provinsi, tingkat nasional maupun tingkat intemasional. Potret seperti ini sudah berlangsung lama bahkan sejak MTQ itu ada. Hanya saja sangat disayangkan karena tekad untuk merubah bat ini belum tampak. Baik dari pihak LPTQ, pemerintah, masyarakat maupun dari berbagai tokoh agama.. Padahal gaya menyewa delegasi seperti ini merupakan paradigma lama yang tidak mendidik bahkan mematikan pembinaan generasi qur’ani secara tidak langsung.
Karena itu sudah sepatutnya pemerintah bersama panitia pelaksana menghentikan gaya ini dengan membuat kriteria yang ketat dalam pelaksanaan MTQ. Karena gaya tersebut sungguh sangat memalukan dan memilukan bagi kita sebagai umat Islam. Gaya seperti ini justru membuka kartu betapa kurangnya perhatian pemerintah, masyarakat dan tokoh-tokoh agama dalam membina umat di daerah tersebut. Bahkan dengan gaya menyewa Qori dan Qoriah dari berbagai daerah menunjukkan pula betapa miskinnya generasi Qur’ani di sebuah daerah penyewa itu. Lalu pertanyaan yang muncul, mengapa gaya ini masih tetap ada? Jawabnya, sekali lagi karena pemerintah, masyarakat dan tokoh agama di daerah penyewa delegasi kurang memiliki rasa kepedulian dan tanggung jawab terhadap pembangunan masalah keagaamaan khususnya dalam pembinaan tulis baca Alquran.
Alangkah indahnya suatu daerah apabila pemerintah, tokoh agama, masyarakat dan pengurus LPTQ mau peduli dengan penyakit yang menimpa ini. Apatab lagi bila mereka mau duduk bersama sekaligus mencanangkan tahun 2003 sebagai tahun “peduli qur’an”. Dengan pencanangan tersebut, semua potensi wilayah akan bergerak mulai dari tingkat RT, RW, Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Dengan gerakan tersebut, surau, Musallah, masjid dan Taman Pendidikan Alquran dengan sendirinya akan hidup. Bahkan guru mengaji pun akan terhargai di mata masyarakat.
Bila bat ini dapat dilakukan dengan baik, Insya Allah pada pelaksanaan MTQ tahun 2004 setiap daerah dan kecamatan akan muncul dengan dari dan qariah-nya yang asli. Semoga saja pada tahun 2004, gaya menyewa gaya membayar mahal, gaya mengimpor qari’ dan qariah demi sebuah prestasi dan pre’stise tidak lagi dipertontonkan pada MTQ 2004. Karena sungguh sikap dan perilaku tersebut tidak terpuji dan akan mematikan pembinaan generasi qur’ani di suatu wilayah. Karena itu penulis mengajak pada kita semua, untuk merapatkan harisan guna menjadikan tahun 2003 im sebagai tahun “gerakan peduli Qur’an”. Sebab kalau bukan sekarang kapan lagi dan kalau bukan kita siapa lagi. Semoga saja demikian!